Rabu, 19 Januari 2011

Jong Gook Kim - Lovely

Oh moributho balkuthkaji da sarangsurowo 
oh niga naui yojaranun ge jarangsurowo 
gidarimi julgobgo ijen gonggimajo 
dalkomhe irohge norul saranghe 

Sesangi himdurodo nol bomyon 
maume barami tonghe 
iron ge sanun goji iron ge 
hengbogiji ijeya nukkige dwesso nanun 

Onjongil u urhedo nol bomyon 
morie hedbichi duro 
irohge nollaun ge sarangiji 
gidarin borami isso 

Jinanbon sarangchorom ulkabwa hanchamul mangsoryojiman 
bocheji anhgo narul gidaryojun 
no pyonanhage sumyodurowa 

Oh moributho balkuthkaji da sarangsurowo 
oh niga naui yojaranun ge jarangsurowo 
mutugtughadon nega jongil shingulbonggul ujanha 
deche nege musun jisurhan goya 

Oh gurimjawa dwismosubkaji sarangsurowo 
oh bukkuroun ejongpyohyondo jayonsurowo 
gidarimi julgobgo ijen gonggimajo 
dalkomhe irohge norul saranghe 

Nol hengboghage hejugi wihe 
nega nal akkige dwesso 
ne mosub negabwado ije jogumun 
gwenchanhun nomi doen god gatha 

Oh moributho balkuthkaji da sarangsurowo 
oh niga naui yojaranun ge jarangsurowo 
mutugtughadon nega jongil shingulbonggul ujanha 
deche nege musun jisurhan goya 

Oh gurimjawa dwismosubkaji sarangsurowo 
oh bukkuroun ejongpyohyondo jayonsurowo 
gidarimi julgobgo ijen gonggimajo 
dalkomhe irohge norul saranghe 

Oh nananana nanananana nanananana 
oh nananana nanananana nanananana 
saramduri modudul burowoso 
gyondil su obge gurohge uri saranghe 
ooh hangajiman yagsoghe sesang kuthnal tekaji 
naegeman sarangsurobgi

Cerita tentang sahabat

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat.   Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya.   “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan.   “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku   Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman.   “Vy, gue numpang ya, ke  kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat.   Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi  lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’.    “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku.   “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai.   “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai.    Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali.    “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu.   Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu.    “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku.   Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi.   Silvy tiba-tiba memelukku.   “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.   Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya.   Aku melepaskan pelukan kami.   “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku.   Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah.   Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya. 

Ceritaaa

Cerita Sahabat Getaran. Disusul dengan potongan lagu Built to Last-nya Meleè, menandakan sebuah SMS masuk.Aku berjalan menuju arah meja belajarku dan meraih ponsel yang sedang di-charge. Tidak ada firasat sama sekali, tidak ada pikiran negatif sama sekali. Kemudian kubaca SMS itu: Kar, ayahnya Didim meninggal. Dimakamkan di Solo hari ini.Sender: Dinda (+6285612069800)08:10 PM Meninggal? Ayah Didim meninggal?Selanjutnya, bagaikan kejapan mata, aku langsung menghubungi seluruh kawan-kawanku satu per satu, memberitahukan kabar meninggalnya ayah Didim. Tapi apa yang aku dapat bukanlah sesuatu yang aku harapkan.“Iya Kar, gue udah tahu. Kemarin malem meninggalnya,” ujar Bagas saat aku menghubunginya.“Ayah Didim emang udah sakit sejak awal semester ini, Kar. Sakit stroke, katanya.” Rizka berkata demikian saat aku meneleponnya.“Didim nggak masuk dari kemarin gara-gara harus ke Solo, Kar.” Dan itu adalah respon dari Reza, teman sekelasku yang terakhir kukabari.Aneh. Mengapa hanya aku seorang yang nampaknya belum tahu apa-apa akan masalah ini? Bahkan Bagas mengatakan bahwa ayah Didim meninggal kemarin malam. Ada apa ini? Semua orang sudah tahu tapi aku, yang merupakan sahabat Didim, menjadi orang terakhir yang tahu akan kabar ini?Seperti orang kerasukan, aku langsung mengetik SMS cepat-cepat kepada Didim. Terkirim. Tidak dibalas. Kukirim lagi untuk kedua kalinya. Tiga kali. Masih tidak dibalas. Aku telepon, kudengar nada tersambung, lalu terputus. Kucoba lagi, tapi tetap tidak dijawab.Didim masih sengaja tidak mau berkomunikasi denganku.Apa yang salah? Apa yang salah?! Rasanya aku ingin berteriak. Setelah nyaris satu semester ini ia menghindariku terus, ogah-ogahan berbicara denganku, bahkan sengaja menukar bangkunya sehingga tidak lagi bersebelahan denganku, ia masih tidak mau menghubungi aku di saat-saat seperti ini?Aku terpekur. Hampa. Saat itu, waktu bagai berputar balik. ***Dua tahun yang laluSemua berawal semenjak aku kelas 1 SMP. Masih tenggelam dalam euforia, aku menyongsong kelas baruku dengan penuh semangat. Yah... kamu juga pasti pernah merasakan itu, kan? Sindrom ‘mendadak-merasa-gede’ karena statusmu sekarang adalah anak putih-biru, bukan lagi putih-merah seperti dulu.            Tapi euforiaku mendadak lenyap ketika setelah dua minggu masuk sekolah, rotasi bangku mengharuskanku duduk di deretan belakang, bersama seorang cowok berantakan yang kerjaannya hanya tidur saja di kelas.            “Didim.” Sesingkat itulah ia memperkenalkan dirinya kepadaku.            Nama lengkapnya Ardiko Dimas Syailendra, dan entah dari mana ia mendapatkan panggilan ‘Didim’ tersebut. Berantakan, itulah ciri khasnya. Pagi-pagi datang ke sekolah sudah dengan seragam yang keluar, sepatu diinjak, rambut mencuat-cuat tidak tersisir dan membawa barang seadanya. Kalau aku bilang ‘seadanya’, itu berarti benar-benar SEADANYA: cuma tas lusuh yang warnanya tidak jelas saking kotornya, berisi sebuah file catatan yang kertasnya nyaris kosong, satu bulpen, satu pensil, dompet dan ponsel.            Berantakan, ‘hobi’ melawan peraturan, suka tidur di kelas dan tidak perduli dengan pelajaran—lengkap sudah semua alasan yang langsung membuat Didim menjadi musuh nomor satu semua guru. Baru sebulan masuk SMP, ia sudah dipanggil oleh Bu Ningrum, wali kelas kami saat itu, karena komplain dari guru-guru yang terus mengalir tentang tingkahnya yang tidak pantas.            Tapi, di sinilah sebenarnya persahabatanku dengan Didim dimulai.            Aku ingat hari itu, hari di mana sepulang sekolah Didim dipanggil Bu Ningrum untuk berbicara empat mata dengannya. Di tengah jalan pulang menuju gerbang, mendadak aku dicegat oleh Dinda—yang juga teman sekelasku—dan disuruh menemui Bu Ningrum di ruang guru.            Aku sempat merasa bingung kenapa aku harus ikut dipanggil segala. Kalau Didim, aku maklum. Kalau aku, yang notabenenya termasuk anak ‘baik-baik’ di kelas, apa masalahnya?            Semuanya langsung terjawab tatkala aku masuk dan duduk di samping Didim saat itu juga.            “Sekar, ibu harap kamu bisa membantu Ardiko dalam pelajaran, ya.”            “Sa-saya, bu?” Aku langsung tergagap karena kaget.            Bu Ningrum mengangguk yakin. “Ibu lihat keseluruhan nilai kamu baik dan kamu rajin mengerjakan tugas. Ibu harap kamu bisa membantu Ardiko supaya nilai-nilainya bisa, ehm, terisi semua.”            Terisi semua—itu artinya nilai Didim semuanya kosong. Untuk urusan pelajaran, Didim memang parah. Dua minggu sebangku dengannya, tak pernah kulihat ia mengumpulkan PR satu kali pun. Demikian juga saat ulangan, tahukah kalian apa yang ia lakukan? Tidur. Ia tidur bahkan saat sebelum soal dibagikan, dan ketika waktu ulangan selesai, ia dengan santainya mengumpulkan lembar jawaban yang tidak berisi jawaban itu.            “Kamu bisa mengajari Ardiko kan, Sekar?” Suara Bu Ningrum menarikku kembali ke alam nyata.            Kalau boleh jujur, rasanya aku malaaas sekali berurusan dengan manusia asal-asalan ini. Tapi, kurasa reaksi penolakanku kepada Bu Ningrum juga bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Wali kelas mana sih, yang mau melihat anak didiknya gagal?            Maka, dengan berat hati, aku pun mengangguk. ***Semenjak hari itu aku disuruh oleh Bu Ningrum untuk tetap duduk sebangku bersama Didim. Di saat anak-anak lain berpindah-pindah sesuai rotasi meja, aku tetap duduk di bangku yang sama, di baris belakang bersama Didim.            Hari demi hari, minggu demi minggu, aku mengajari Didim semua materi pelajaran. Menyikutnya agar ia tetap terjaga saat guru sedang menerangkan di depan kelas. Memastikan bahwa lembar jawabannya terisi saat ulangan. Bahkan hingga mengirimi dia SMS setiap malam agar ia tidak lupa untuk membawa seluruh buku pelajaran sesuai jadwal, bukan hanya isi tas minimalisnya seperti yang dulu ia lakukan.            Selama itu juga, aku mulai memahami karakternya. Didim bukan anak yang bodoh—sebaliknya, menurutku ia sangat pintar. Pada awalnya aku menduga bahwa mengajarinya materi pelajaran akan menuntutku kesabaran yang berlebih, tapi aku salah. Ia dengan cepat menyerap semua materi yang aku jelaskan, dan bahkan aku mulai ragu bahwa ia butuh seorang tutor sebaya untuk mengajarinya. Yang ia butuhkan hanya niat dan motivasi untuk bersekolah dengan benar.            Berbagai pertanyaan mulai muncul di dalam benakku: mengapa anak sepintar dia sangat malas belajar? Mengapa ia selalu terlihat mengantuk sepanjang hari? Mengapa ia sampai tidak perduli dengan nilainya—bahkan sampai bisa cuek tidur saat ulangan?            “Keluarga gue,” ujarnya mendadak suatu hari, tatkala aku meminjamkannya buku catatan biologi, “hmm, apa itu istilahnya? Ah, iya. Keluarga gue disfungsional.”            Disfungsional. Bahkan pemilihan kata-katanya terlalu intelek untuk ukuran anak yang dicap ‘bodoh’. “Disfungsional gimana maksud lo?” tanyaku.            “Gue bungsu dari dua bersaudara. Abang gue, umurnya sepuluh tahun lebih tua. Dia nggak pernah ada di rumah. Ada aja alasannya; nginep di rumah teman, lah, ngerjain tugas kuliah, lah...” Didim berhenti sejenak, seperti menimbang-nimbang apakah ia mau lanjut bercerita soal kehidupan pribadinya kepadaku. “Kalo abang gue aja umurnya udah segitu, lo kebayang lah umur orangtua gue seberapa. Bokap gue udah tua, tinggal nunggu beberapa tahun lagi buat pensiun, tapi dia gila kerja banget. Sedangkan nyokap...” Ia kembali terdiam.            “Nyokap lo kenapa?”            “Gue nggak akur sama nyokap.” Ia menghela napas. “Semenjak abang gue bertingkah kayak ‘anak hilang’ begitu, entah kenapa nyokap jadi suka paranoid sama gue. Gue pulang sore sedikit, pasti langsung dituduh macam-macam. Keluyuran lah, main-main lah, malah sampai menduga gue pemakai narkoba.”            “Tapi, elo enggak...” aku terdiam sejenak, ragu ingin meneruskan, “...elo enggak pakai narkoba kan, Dim?”            “Ya enggak, lah, Kar.” Didim malah tertawa kecil atas tuduhan itu. “Gue mungkin tidur nyaris setiap saat, tapi gue bukannya nge-fly atau high begitu.”            “Terus, kenapa elo sering banget ketiduran di kelas?”            “Karena gue memang selalu begadang.” Didim mulai membuka buku catatan biologiku dan menyalin isinya, seraya meneruskan, “Bokap gue pulang kerja di atas jam sepuluh malam hampir setiap hari. Nyokap, entah kenapa, selalu udah tidur saat itu. Aneh sih—bukannya biasanya istri selalu nungguin suaminya pulang kerja, ya? Tapi, ya begitulah nyokap gue. Akhirnya, gue lah yang selalu nungguin bokap pulang.”            Mendadak aku merasa semua sikap Didim masuk akal. Keluarganya memang berantakan. Ayahnya yang bekerja terlalu keras hingga melupakan keluarganya, ibunya yang paranoid dan nampaknya juga kurang akur dengan ayahnya, hingga kakaknya yang tidak pernah ada di rumah. Wajar kalau Didim menjadi tidak termotivasi untuk sekolah, karena bahkan keluarganya pun tidak berada di belakangnya memberikan support. Dan ini juga membuktikan bahwa dugaanku benar; yang ia butuhkan bukanlah tutor, tapi semangat dan dukungan untuk berprestasi.            “Dim,” aku memulai pembicaraan lagi, “elo jangan males-males sekolah, ya.”            Didim menaikkan alis. “Kenapa?”            “Yaaah... setidaknya, harus ada satu orang yang ‘bener’ lah di keluarga lo. Kalau abang lo nggak bisa, setidaknya ya elo.”            Didim tidak merespon apa pun selain tersenyum tipis.            Aku tidak ingat persisnya kapan penggalan dialog itu terjadi, tapi yang jelas, semenjak itu perlahan-lahan prestasi sekolah Didim berangsur-angsur membaik. Walau masih tetap dengan ciri khas penampilannya yang berantakan, tak pernah kulihat lagi ia tertidur saat pelajaran. Tugas dan PR selalu ia kumpulkan. Bahkan tak jarang, nilai ulangannya lebih tinggi dibanding nilai ulanganku. Saat kenaikan kelas, ia masuk sepuluh besar. Bu Ningrum tidak henti-hentinya berterimakasih kepadaku yang dianggapnya telah sukses membimbing Didim ke ‘jalan yang benar’.            “Sekar,” panggilnya saat pembagian raport, seraya menatap papan tulis yang berisi daftar nama-nama siswa yang masuk sepuluh besar.            “Ya?” responku, acuh tak acuh.            “Semoga kelas dua kita sekelas lagi, ya.” Ia nyengir lebar.            Aku terbengong-bengong. Sama sekali tak menyangka ia bisa berharap seperti itu. ***Aku tidak tahu ini kebetulan, takdir, atau apa, tapi yang jelas kelas dua aku satu kelas lagi dengan Didim. Dan walaupun sebenarnya masa ‘tutorial’-ku dengannya sudah berakhir—setidaknya saat ia menunjukkan peningkatan prestasi—kami akhirnya tetap duduk sebangku dan berteman dekat. Banyak orang-orang meledek kami dan menyebut kami berdua pacaran, tapi tidak, kami tidak berpacaran. Kami hanya bersahabat dekat, seperti kakak dan adik.            Namun, di kelas tiga, mendadak semuanya berubah. Sangat berubah.            Diawali dengan kesibukanku mengikuti seleksi olimpiade fisika di penghujung tahun keduaku, yang berarti agendaku akan terus dipenuhi dengan karantina dan lomba hingga akhir semester awal kelas tiga. Di saat-saat seperti itu aku mulai merasa bahwa pertemananku dengan Didim mulai berjarak. Walaupun masih tetap sekelas, namun frekuensi pertemuan kami di sekolah menurun drastis, mengingat hampir setiap hari aku terkena dispensasi untuk persiapan olimpiade. Kalau pun aku sedang masuk sekolah, entah mengapa Didim juga terkesan ogah-ogahan berbicara denganku. Rasanya hubungan kami kembali ke titik awal lagi, saat ia dan aku masih saling diam satu sama lain.            Puncaknya, saat aku masuk sekolah setelah melalui seminggu masa karantina, aku menemukan bahwa Dinda lah yang mengisi posisi bangku di sampingku, bukan lagi Didim. Ia dengan seenaknya menyuruh Dinda bertukar posisi dengannya agar ia tidak lagi sebangku denganku.            Marah, kesal, heran, semuanya bercampur menjadi satu saat itu. Tak tahan, aku mendampratnya saat istirahat makan siang.            “Mau lo apa sih, Dim?” tanyaku tanpa basa-basi saat menemukan ia di kantin.            Didim tidak menatapku, ia malah tetap fokus memakan mie ayamnya.            “Didim!” Aku menggoyangkan bahunya, agak kasar. “Maksud lo apa? Tahu-tahu pindah kursi begitu?”            Ia melirikku dengan tatapan terganggu. “Dua tahun kita duduk sebangku. Gue butuh variasi teman.”            “Apa?” Aku tak bisa mempercayai pendengaranku saat itu.            “Singkatnya, gue bosen aja sebangku terus sama elo, Sekar. Sesimpel itu.”            Aku terlalu kaget untuk bisa bereaksi, sehingga aku sempat terdiam mematung selama beberapa detik. Mendadak sebuah logika sederhana terbentang di otakku: Didim ya tetap Didim. Seorang anak yang bandel, tidak perduli seberapa eratnya persahabatanku dengannya.            Aku langsung balik badan dan berlari dari kantin. Berlari sejauh mungkin dari Didim, karena aku tidak ingin ia menyaksikan air mataku yang mulai tumpah. ***Kembali lagi ke hari ini. Sudah tiga hari Didim tidak masuk sekolah, dan sudah sehari semenjak SMS Dinda yang mengabari tentang meninggalnya ayah Didim. Walaupun hubungan kami sudah tidak seakrab dulu lagi, bohong kalau aku bilang aku tidak peduli dengan berita duka tersebut. Apalagi ini adalah ayahnya Didim. Ayah dari sahabatku—mantan sahabatku.            Tapi, alangkah terkejutnya aku atas apa yang aku temukan di kelas yang masih kosong pagi ini.            Ardiko Dimas Syailendra ada di kelas—dan ia duduk di sebelah bangkuku.            “Didim?” tanyaku kaget. “Elo masuk? Kok elo pakai baju bebas?”            Didim menatapku dengan tatapan sedih. “Gue bukan mau masuk sekolah, Kar. Gue mau pamitan sama mengurus surat pindah.”            “Pi-pindah?” Aku tergagap. “Pindah ke mana?”            “Ke Solo.”            Telapak tanganku langsung terasa dingin saat mendengar itu. Namun, kebalikan dengan telapak tanganku yang dingin, aku merasa bahwa mataku mulai panas... dan berair.            “Kenapa? Kok mendadak banget?” tanyaku, mulai dengan artikulasi terbata-bata karena menahan tangis.            “Nggak mendadak, sebetulnya.” Pandangan mata Didim menerawang jauh. “Sebelumnya, gue mau minta maaf, Kar.”            “Minta maaf?”            “Iya. Karena sudah menyakiti lo waktu itu, waktu gue mendadak tukar bangku dengan Dinda. Tapi semua itu gue lakukan, karena gue nggak tahan harus dekat-dekat sama lo, saat gue bahkan nggak bisa cerita apa pun ke elo.”            “Cerita apa? Apa yang selalu elo sembunyikan selama ini?”            “Bokap divonis stroke semenjak awal kita masuk kelas tiga, Kar.” Didim berhenti sejenak, menghela napas, berat. “Itu sangat berat buat gue... buat keluarga gue. Elo tahu kan gimana kondisi keluarga gue. Abang gue masih tetap saja nggak pulang-pulang walau udah tahu bahwa bokap sakit. Nyokap juga bukannya berusaha tegar dan merawat bokap, tapi malah panik sendiri dan menambah keruh suasana. Praktis yang merawat bokap cuma gue dan paman gue, adiknya bokap.”            Didim terdiam sejenak, seperti menahan emosinya. Hening menyelimuti kami berdua meski hanya sesaat.            “Saat itu... gue ingin sekali cerita ke elo. Seperti waktu kelas satu, pertama kalinya gue cerita ke elo tentang kondisi keluarga gue yang berantakan. Tapi elo lagi sibuk dengan olimpiade fisika lo, dan elo kelihatan capek sekali dengan kegiatan itu. Makanya gue nggak cerita ke elo, gue takut menambah beban lo.”            Pertahananku tumpas sudah. Air mata mulai jatuh membasahi pipiku. Sahabat macam apa aku ini? Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku bahkan berani menuduh Didim macam-macam saat ia mulai menjauh dariku. Aku ini benar-benar bodoh!Didim mengalihkan pandangannya ke lantai, menunduk.            “Jangan nangis, Kar,” ujarnya pelan. “Elo nggak tahu seberapa besar rasa bersalah gue sama lo, jadi tolong, jangan nangis. Itu cuma membuat perasaan gue makin sedih.”            “O-oke.” Tersendat-sendat, aku berusaha meredakan tangisku. “Ja-jadi... kenapa? Kenapa elo harus pindah?”            “Pas bokap divonis sakit, keluarga gue makin nggak jelas. Abang yang nggak pulang-pulang, nyokap yang nggak bisa diandalkan, bokap yang kondisinya makin buruk dari hari ke hari... Akhirnya keluarga besar gue menimbang-nimbang bahwa gue pindah saja ke Solo, biar gue diasuh sama nenek gue di sana.”            “Harus, ya?” Aku bertanya pelan, sakit. “Elo harus pindah?”            Didim mengangguk lemah. “Sekarang bokap udah nggak ada, Kar. Keluarga gue udah benar-benar kehilangan ‘tiang’ penyangganya. Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi untuk diandalkan di sini.”            “Elo...” aku terdiam, kehabisan kata-kata. “Elo seharusnya cerita ke gue, bodoh.”            Didim tersenyum pahit. “Lo nggak tahu betapa gue sangat berharap bahwa gue bisa cerita sama lo saat itu.”            “Baik-baik ya di Solo.” Aku menepuk bahunya, rasa perih makin menjalar di hatiku. “Belajar yang rajin.”            Ia mengangguk, kali tersenyum damai. “Iya. Kan udah ada yang memotivasi gue selama ini.”            “Sering-sering kabar-kabarin gue, ya.”            “Pasti.”            Setelah itu Didim pergi meninggalkan kelas, menuju ruang TU untuk mengurus surat kepindahannya. Kembali lagi, aku terpekur hampa sendirian di kelas. Hari masih pagi, sekolah masih sepi. Tapi aku sudah menangis sendiri

Minggu, 12 Desember 2010

hari yg mengesankan (menurut aku) tp crta ini cuma sbagian kisah seru kelas 7.2

jam pertama plajaran fisika ngebahas soal" yg kmren kita kerjain..
*jam kedua akn sgra dimulai*
Horee plajaran fav 7.2 BK !
klas 7.2 tuh sering bgt curhat / kunjungan ke ruang BK . agak tlat msuknya jd smbl nunggu pa guru kta pda online 'n main,
pa guru tlfn ke guru piket blg tlat msk 7.2 !
"yah,tlat deh"
akhirnya pa guru masuk kelas 7.2 smbil bwa laptop dan kita nonton film..

Eits,filmny bkan skdr film,
filmnya tuh ttng ibu..
Eh , niatnya mau pda ktwa" jeh pda hr itu mlah pda nangis (mnding seorang dua org yg nangis ini mah hampir smua)
sampe" cowo disblh aku yg dikenal jail ikt nangis .
haha :D
nangisnya mending reumbay doang mah..nah ini smpe trsedu" .
Wew..
Trs liat film helen keller yg "buta skaligus tuli dr kecil" smpe jam pljaranny itu kbablasan .

tp seru..

Sblm hari itu..
kan ada jam kosong aku , virena , safira , alya , bagus , katon , monique tuh bercanda bareng (tumben akur) seru lah pokoknya smpe ga bs di ungkapkan dgn kata"(lebai) haha..


Pokoknya dan intinya "UDAH BANYAK BANGET CERITA2 DAN KISAH YG KITA (7.2) LAKUIN BARENG DR MULAI,KITA KENAL SATU SAMA LAINNYA,DI MOS,RIBUT,DIMARAHIN,BRANTEM,AKUR,BERCANDA,NANGIS DLL"
SEMOGA INI AWAL DARI PERSAHABATAN DAN KEKOMPAKAN 7.2 !
Horee


aku seneng bgt kenal ma anak2 7.2 yg gokil , lucu , baik .

semoga kelas 7.2 jd kelas terkmpak..
aku uda ngerasa care bgt ma mrka :)

sfat" kita juga menurut aku mah agak mirip" pda jail, gokil , lucu hehe..

seruuu bgt :)

kompak tuh bukan hrs nunjukin kita tuh akur mulu..
tp kompak tuh kita harus menjaga hubungn sodara , hrs ngerasain apa yg di rasain perasaan satu sama lainnya .

aku seneng bgt kenal kalian !!!!!!!!

Senin, 29 November 2010

arti sahabat

Sahabat itu ??
seperti bintang di langit ,, walaupun jauh ia tetap bercahaya , meski kadang menghilang,, tetapi ia tetap ada.. tak mungkin di miliki tapi tak bisa di lupakan.. Begitu juga bulan,, walaupun hanya satu ia selalu di sisi kita ,, tidak hanya di sat suka tapi selalu ada di saat duka,, begitu juga sahabat tidak mengharapkan apapun,, sahabat hanya ingin kau bahagia,, karna jika kau terluka sahabatpun akan tergores hati`a..

Sabtu, 27 November 2010

aku dan seorang operator

Untuk semua sahabat, cerita dari Sahabat tentang persahabatan.
Berharap dapat memberi inspirasi yang positip. Salam hangat, Yusak.
Operator Telephone Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telephone di rumah kami. Inilah telephone masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telephone lain.
Sang operator akan menghubungkan secara manual. Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa , kalau putaran diputar , sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : “Operator ” Dan si operator ini maha tahu. Ia tahu semua nomor telephone orang lain. Ia tahu nomor telephone restaurant, rumah sakit, bahkan nomor telephone toko kue di ujung kota.
Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun di rumah dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar-putar kesakitan dan memasukkan jempol ini ke dalam mulut tatakala saya ingat …operator! !!
Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya. ” Di sini operator…” ” Jempol saya kejepit pintu…” kata saya sambil menangis. Kini emotion bisa meluap, karena ada yang mendengarkan. ” Apakah ibumu ada di rumah?” tanyanya. ” Tidak ada orang” ” Apakah jempolmu berdarah?” ” Tidak, cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali” ” Bisakah kamu membuka lemari es?” tanyanya. ” Bisa, naik di bangku” ” Ambillah sepotong ice dan tempelkan pada jempolmu….”
Sejak saat itu saya selalu menelephone operator kalau perlu sesuatu. Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota sebuah negara. Tanya tentang mathematics. Ia juga menjelaskan bahwa tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan , makannya kacang atau buah.
Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.
Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar.Saya tanya: “Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya?”
Ia berkata pelan: “Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain….”
Kata-kata ini – ngga tau bagaimana – menenangkan saya. Lain kali saya telephone dia lagi. “Di sini operator” “Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?”
Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan “Di sini operator” Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.
Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya study trip ke kota asal. Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telephone dan minta bagian “operator” “Di sini operator” Suara yang sama. Ramah tamah yang sama. Saya tanya: “Bisa ngga eja kata kukuruyuk” Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan: “Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan?” Saya tertawa. “Itu Anda… Wah waktu berlalu begitu cepat ya.”
Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serious: “Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon”
Saya ceritakan bahwa, ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi. “Tentu, nama saya Saly” Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telephone operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly. Suara itu bertanya “Apa Anda temannya?” “Ya teman sangat lama.” “Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan, dan dia meninggal lima minggu yang lalu….”
Sebelum saya meletakkan telephone, tiba tiba suara itu bertanya: “Maaf, apakah Anda bernama Paul?” “Ya” “Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya….” Ia kemudian membacakan pesan Saly: “Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN… Paul akan mengerti kata kata ini….”
Saya meletakkan gagang telephone. Saya tahu apa yang Saly maksudkan. “Selamat bernyanyi di dunia lain, Sally, sahabatku, operator telephone yang bagiku tidak ada duanya di dunia ini”, ucap saya dalam hati

mimpi gw....

gak tau saya harus mulai drmana?yang jelas saya langsung jelasin mimpi saya sampe saya nangis.

  malam jumat malam yang menurut saya mencekam,bkin saya takut dan ga konsen.sejak saya shalat maghrib saya tibatiba menangis merasakan khlangan org saya pun bingung apa?
stlah saya agak tenang..saya blajar dan mengerjakan tugas dan lagilagi saya tiba2 menangis dan ga konsen.
tugas sdh slesai saya tidak blajar krn saya merasa kndisi saya amat tdk fit.saya memutuskan untk trtidur.
awalnya saya mrasa serba salah?untk menghilangkan itu smua saya brdoa dan demus.perlahan saya mulai tertidur.

didalam tidur saya yang saya rasa tdk nyaman saya brmimpi,mimpi itu sprti nyata.
tak tau apa mksd dr mimpi tsb?gelisah yg ada didalam pkran saya.
dalam mimpi itu , saya tak tau ada dmana?tempat tsb putih dan tampak sprt tanpa ujung?
smua org yg saya knl..dr ortu,adik,sepupu,teman sampe rival saya ada dsna mengelilingi saya smbil menangis sperti menangis sesalan,skit hati dan kehilangan kpda sy?
sy yg brda ditngah kerubunan mrk mrasa bingung dan tibatiba menangis?
dlm mimpi itu ibu saya pingsan,adik saya memeluk erat saya dan papa mengucpkan slamat tinggal smbl menangis?
apa artinya tuhan?
rival saya memeluk dan lagi2 mengucpkan katakata perpisahan yang menusk hati saya?tman2 dan snak family saya melambaikan tangan sprti untk trakhir kalinya.
tiba2 saya bgun dan lgsung memanggil dan menyruh ibu untk tidur bsama saya..saya ga bsa tdur sampe jam 3malam dgn stngh sadar saya memikirkan mimpi yg saya alami?apa artinya APA?

pagi menjelang..stlh shalat subuh saya tba2 menangis , stlh siap2 saya diantr papa untk sklah ga tau saya ko mrsa stngah sadar tiba disklah.
ya..gatau knpa?

saya bingung..
APA ARTINYA?